BY : “Rheza Pratama”
Sistem apa yang dikembangkan oleh lembaga mahasiswa biasanya menginduk dari sistem negara di mana mahasiswa tersebut eksisten. Lembaga mahasiswa dalam konteks tulisan ini lebih mengacu kepada lembaga mahasiswa internal kampus (di FE-UMY). Lembaga mahasiswa secara khusus akan mengacu pada praktik lembaga kemahasiswaan atau lebih populer dengan istilah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) sebagai departemen-departemen pemberdayaan yang secara langsung bersentuhan dengan basis. Adapun Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) merupakan afiliasi berdasar lingkup kajian suatu jurusan tertentu. Meskipun tidak menutup kemungkinan untuk menyemai semangat perjuangan dan pemberdayaan melalui lembaga ini.
Kecenderungan yang terlihat akhir-akhir ini, lembaga kemahasiswaan lebih memilih bentuknya dalam kerangka lembaga eksekutif dan legislatif. Pilihan ini didasari dari pertimbangan tentang berjalannya mekanisme kontrol kepada lembaga eksekutif. Sedangkan dulu, pemerintahan mahasiswa lebih familiar dalam bentuk “Dewan Mahasiswa”. Adanya fungsi lembaga legislatif mahasiswa hari ini lebih merupakan refleksi dari kondisi kontemporer terkait dengan ‘politik kampus yang semakin rumit".
Penubuahan lembaga legislatif yang juga sebagai lembaga kontrol lebih dipicu persoalan politis daripada semangat pemberdayaan. Meskipun pada praktiknya, seringkali lembaga legislatif di beberapa fakultas tidak berjalan dan berlangsung secara maksimal. Alhasil, niatan penubuahan mekanisme kontrol melalui satu lembaga khusus dengan sendirinya mandul. Tidak hanya pada konteks mekanisme kontrol, tetapi juga fungsi-fungsi legislasi berjalan tersendat.
“Lembaga Mahasiswa Dan Birokrasi Kampus”
Sebenarnya adanya lembaga mahasiswa berangkat dari agenda pemberdayaan mahasiswa dalam arti seluas-luasnya. Mulai dari memberdayakan mahasiswa sebagai basis konstituen. Advokasi mahasiswa sebagai bentuk keberpihakan terhadap konstituen. Juga mempengaruhi kebijakan kampus yang digulirkan oleh birokrasi fakultas atau universitas. Semua lembaga kemahasiswaan, apapun format pemerintahannya. Maka posisi dan peran lembaga mahasiswa amatlah strategis. Dalam konteks bagian ini akan lebih memfokuskan pada isu posisi dan peran lembaga kemahasiswaan berhadapan dengan birokrasi kampus.
Pengalaman di beberapa fakultas bahwa ketika satu pemerintahan mahasiswa melakukan praksis politik, seperti mengaspirasikan kebutuhan konstituen, menuntut kebijakan kampus agar berpihak kepada mahasiswa, mempengaruhi proses pengambilan kebijakan, sampai pada mendesakkan aspirasi kepada birokrat, masalah yang selalu muncul yakni logika representatifitas atau keterwakilan, hal ini pun tidak terlihat di lingkungan FE-UMY dalam beberapa periode belakangan ini.
Sebenarnya logika keterwakilan yang dipertanyakan oleh birokrat kampus adalah masalah legal-formal ketika satu lembaga mahasiswa mentasbihkan dirinya sebagai lembaga yang mewakili aspirasi keseluruhan mahasiswa. Hal ini lahir dari logika kontrak politik yang dilaksanakan oleh lembaga mahasiswa terhadap konstituennya. Sehingga menjadi naif ketika lembaga mahasiswa justru menafian logika keterwakilan di atas. Logika ini merupakan turunan dari pilihan sistem, format pemerintahan yang merujuk kepada sistem demokrasi.
Di Fakultas Ekonomi Univesitas Muhammadiyah Yogyakarta, Lembaga mahasiswa (khususnya: SENAT & BEM) selalu mengalami masalah dengan logika keterwakilan ini. Padahal, jika satu lembaga mahasiswa dapat mengupayakan prinsip keterwakilan, maka gerakan yang akan disusunya dapat terlaksana secara maksimal. Artinya, pemenuhan prinsip keterwakilan merupakan persoalan yang urgen untuk selalu diupayakan pemaknaanya.
Jika Lembaga mahasiswa belum mampu mengupayakan keterwakilan konstituen, maka aspirasi, tuntutan dan seterusnya hanya akan dipandang sebelah mata. Lebih berbahaya lagi bila kita memandang hal ini sebagai kebutuhan atau kepentingan golongan tertentu yang tidak mengakomodir keseluruhan aspirasi mahasiswa. Klaim sektarian dari konstituen dapat dicegah melalui mekanisme kontrak sosial yang mewujud pada logika demokrasi prosedural.
Logika demokrasi prosedural merupakan sebuah bentuk demokrasi kuantitatif. Yang artinya jumlah lebih diperhitungkan daripada kualitas suara. Karena lebih mengutamakan jumlah, maka demokrasi prosedural menuntut partisipasi publik sebanyak-banyaknya dalam rangka ‘menandatangangi’ kontrak politik kepada pemerintahannya dalam lembaga kemahasiswaan terkait. Nah cerminan ini lah yang sering kita temukan pada lingkungan kelembagaan mahasiswa khususnya SENAT & BEM FE-UMY.
Kesimpulannya adalah terdapat beberapa kesalahan yang terjadi pada peran dan posisi BEM dan SENAT Mahasiswa FE-UMY antara lain :
1. Ketidakpahaman atas silogisme logika kelembagaan.
2. Mandul nya fungsi legislatif sebagai pengentrol wilayah lembaga eksekutif (dalam beberapa tahun terakhir).
3. Posisi dan peran BEM & SENAT Mahasiswa FE-UMY yang tidak jelas arahnya.
4. Kesalahan berfikir yang mengarahkan pada pola pikir demokrasi prosedural, dimana lebih mementingkan kuantitas dari pada kualitas.
Sekarang waktunya bangkitkan kembali semangat orentasi dan kejelasan BEM & SENAT Mahasiswa FE-UMY, atau revolusi menjadi langkah mutlak bagi kami.
HIDUP MAHASISWA. 3X !!!!!